Sebagai manusia, tentu perlu adanya sebuah pemikiran yang mampu meyakinkan keberadaan yang tidak dapat dirasakan oleh logika dan panca indra lahiriah. Sering kita jumpai orang sedang menemukan kebenaran tuhan-Nya. Namun timbul pertanyaan yang dapat meragukan keyakinan dalam hatinya. Maka dari itu, perlu adanya sebuah kajian yang mampu menjawab keraguan-keraguan itu dalam mencari keberadaan tuhan.

Paragraf di atas menunjukkan kajian ilmu teologi. Istilah asing bagi orang yang mengedepankan akal dan logika. Kenapa? Karena mereka sulit untuk mencapai pemahamannya yang sudah ditutupi oleh logika mereka. Tetapi Priatna menyebutkan bahwa akal manusia dapat membuat dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Dengannyalah manusia dapat mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dapat menghantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiannya[i].

Teologi sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman[ii]. Dalam Islam, terdapat lebih dari satu aliran teologi, dimana setiap aliran memiliki corak masing-masing. Aliran-aliran teologi tersebut tidak hanya berpengaruh dalam aspek aqidah saja, tetapi juga sangat berdampak terhadap pendidikan dan tatanan politik para penganutnya maupun suatu daerah secara khusus.

Salah satu aliran teologi dalam Islam adalah aliran Mu’tazilah. Golongan ini merupakan kaum yang memisahkan diri. Banyak pemikiran-pemikiran dari Mu’tazilah yang patut kita kaji dan selanjutnya kita analisis sehingga menambah khazanah keilmuan kita dan mudah-mudahan dapat menjadi perantara bertambahnya keimanan kita kepada Allah, terlepas dari pemahaman-pemahaman yang kurang sesuai dengan pemahaman kita. Aspek kajian kita juga menyebar dalam ranah pendidikan dan politik sebagai dampak dari pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam aliran yang didirikan oleh Washal ibn Atha’ ini.

Kaum Mu’tazilah disebut juga dengan kaum rasionalis Islam[iii]. Sebutan ini sepertinya pantas disematkan kepada aliran Mu’tazilah melihat cara mereka dalam menggunakan akal. Mereka sangat menghargai akal dan menurut mereka semua hukum atau perbuatan manusia dianggap benar jika masuk akal sebelum datangnya wahyu mengenai perbuatan itu. Hal ini pula yang menjadikan mereka kurang percaya atas keorinisalitas sunnah, mereka hanya mengakui sedikit dari banyak hadits yang bersumber dari Rasulullah. Hadits yang mereka akui hanyalah hadits-hadits yang mutawatir menurut mereka.

Awalnya, cara penggunaan akal oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk memerangi pernyataan-pernyataan musuh Islam yang banyak menggunakan logika. Sedangkan pada saat itu umat Islam masih terbelenggu dengan dalil naqli saja. Selain itu juga, tak dapat dipungkiri bahwa cara mereka dalam penggunaan akal dipengaruhi oleh budaya saat itu, yang mana mulai banyak pengaruh-pengaruh luar yang masuk ke dalam agama Islam. Seperti dari Persia, Yunani, Romawi, India dan lainnya.

Namun, hal ini memberikan sumbangsih yang besar bagi agama Islam. Saat Mu’tazilah dijadikan sebagai madzhab resmi negara pada zaman Dinasti Abbasiyah, yaitu saat Khalifah Ma’mun memerintah, banyak sekali kegiatan-kegiatan pengembangan yang dilakukan. Puncaknya adalah saat pendirian Baitul Hikmah oleh sang Khalifah. Kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan di Baitul Hikmah ini mulai dari penerjemahan buku-buku asing seperti buku berbahasa Persia, Yunani, Romawi dan lain-lain sampai kegiatan penelitian astronomi. Kegiatan ini pun didukung dengan fasilitas yang canggih dan memadai seperti adanya observatorium untuk kegiatan penelitian astronomi. Sehingga jadilah Baghdad kota Pengetahuan yang Masyhur kala itu. Banyak ilmuwan-ilmmuwan dari penjuru dunia datang ke kota ini dan memberikan peranan yang penting untuk pendidikan.

Selain itu, adanya aliran Mu’tazilah di agama Islam memperkenalkan agama ini dengan ajaran filsafat lengkap dengan kajian tentang tuhan dan perbuatannya seta dalil-dalil akal pikiran dengan tetap berlandaskan pada dalil naql[iv]. Dalam bidang Tafsir Qur’an contohnya, aliran Mu’tazilah menggunakan metode takwil yang berbeda dalam menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat. Takwil menurut aliran ini didasarkan pada akal yang bermuara pada pengesaan Allah dari setiap yang mencedarai keeesaannya[v].  Pengaruh terkuat dari aliran Mu’tazilah dapat dirasakan dalam bidang orator dan pujangga, ilmu balaghah (rethorika), ilmu jadal (perdebatan) dan ilmu kalam (teologi)

Sedangkan dari segi politik ketika masa Dinasti Umayyah, aliran ini tidak terlalu banyak melakukan perlawanan kepada pemerintah. Mereka mulai berani unjuk gigi saat pemerintahan dinasti Abbasiyah, karena adanya hubungan dekat diantara mereka. diantaranya adalah Amr bin Ubaid yang merupakan teman dekat dari Abu Ja’far bin Manshur sebelum menjadi khalifah. Selain itu, didukung pula oleh khalifah yang menganut aliran mu’tazilah ini seperti khalifah Al-Ma’mun.

Dengan adanya kedekatan ini, tidak sedikit pejabat pemerintahan saat itu berasal dari aliran ini. Puncaknya adalah ketika aliran ini dijadikan aliran resmi negara. Sehingga timbulnya Mihnah yaitu ujian bagi para ulama fiqih, ulama hadits dan para hakim untuk mengakui kemakhlukan Al-Qur’an. Teori kemakhlukan ini merupakan salah satu teori yang diyakini aliran mu’tazilah. Karena menurut mereka jika al-Qu’an qadim berarti bersamaan dengan adanya Allah atau disebut ta’addud al-Qudama. Dan tidak mungkin ada yang terdahulu selain Allah.

Banyak ulama dan hakim yang menjadi korban dari mihnah ini. Bagi yang mengakui kemakhlukan Al-Qu’an maka mereka dibebaskan. Sedangkan bagi ulama atau hakim yang tidak mengakui kemakhlukan Al-Qur’an maka mereka harus siap menghadapi hukuman yang telah disiapkan oleh pemerintah. Baik itu berupa cambukan, penjara sampai hukuman mati. Salah satu ulama yang mendapat siksaan karena menolak mengakui kemakhlukan adalah Ahmad bin Hanbal, ulama fiqih yang cukup berpengaruh dan memiliki banyak pengikut. Dinasti Abbasiyah hanya menjatuhi hukuman cambuk dan penjara pada Ahmad bin Hanbal, mereka tidak berani menghukum mati Ahmad bin Hanbal karena ditakutkan adakan adanya perlawanan dari para pendukung Ahmad bin Hanbal.[vi]

Dibuat oleh: Rijki Ramdani, S.Pd (Guru PAI SMAN 1 Bandung)


[i] Priatna, T. (2002). Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Retrieved Desember 16, 2019, from Digital Library UIN Sunan Gunung Djati: http://digilib.uinsgd.ac.id/26884/. Hal. 8

[ii] Mufidah, L. L. (2017). Pendekatan Teologis dalam Kajian Islam. Jurnal Misykat, II(1), 151-162. Hal. 153

[iii] Nurdin, M. (2011). Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah. Hal. 52

[iv] Ibid. Hal. 60

[v] Jamaluddin. (2015). perkembangan dan pengaruh pemikiran teologi Mu’tazilah tentang kemahlukan Al-Qur’an Tahun 124-218 H/ 742-838 M. Thaqafiyyat, 77-97. Hal. 95

[vi] Ibid. Hal. 93